Manusia modern barangkali menginvestasikan separuh nyawanya di layar

Manusia modern barangkali menginvestasikan separuh nyawanya di layar. Pagi-pagi ia bangun, mengintip waktu di layar telepon seluler. Masih sempat bersantai, ia membaca email dan media sosial. Ia menyapa para follower di Twitter sebelum berangkat kerja. “Pagi yang cerah. Selamat pagi tweeps!” Jalanan macet seperti biasa, namun ia tahu bagaimana harus menunggu. Ia mengeluarkan iPad yang dibeli seminggu lalu, kemudian membaca buku elektronik yang diunduh kemarin. Sesampainya di kantor, ia menyalakan komputer. Sembilan jam berikutnya ia habiskan di depan layar, sambil sesekali mengirim pesan pendek untuk kekasih. Selepas kerja, ia janjian dengan kekasihnya untuk menonton film terbaru di bioskop. Pulang ke rumah, ia beristirahat. Mandi, makan, duduk santai, dan menyalakan televisi, sampai ketika ia tertidur dan kembali pagi. Layar telah menjadi bagian tak terlepaskan dari hidup kita yang sekarang ini serba cepat. Layar, selain jadi gudang hiburan, adalah gerbang informasi dan komunikasi terkini. Layar juga telah mempermudah kita melakukan berbagai aktivitas, dari yang sederhana seperti menulis atau membaca, hingga yang serumit upacara bendera. Kehidupan pekerja profesional saat ini turut berutang besar pada layar. Para arsitek, misalkan, tidak lagi menggambar menggunakan meja gambar. Komputer adalah meja gambar mereka. Jurnalis kini lebih cocok disebut sebagai kuli ketik ketimbang kuli tinta. Dalam beradu cepat dengan matahari, mereka kini bergantung pada telepon seluler dan laptop. Dan masih banyak lagi profesi lainnya yang tak bisa bekerja tanpa layar. Ketergantungan itu menjadi dilematis ketika kita mengakui bahwa manusia, bagaimanapun, adalah makhluk yang mengalami. Ia, melalui persepsinya atas ruang dan waktu, mewujudkan pengalaman. Tapi, ia tidak dapat hadir di dua ruang dalam waktu bersamaan. Jadi setiap kali ia berada di depan layar, ia sebenarnya tidak benar-benar berada di dunia sekarang. Ia bisa berada di mana pun, kecuali di tempat ia berada. Bukankah mengamati layar juga adalah pengalaman? Betul, tapi pengalaman yang sudah tersaring. Pengalaman akan ruang dan waktu memungkinkan manusia untuk melibatkan banyak indra di tubuh kita dalam satu momen. Seorang yang sedang menikmati secangkir kopi, misalkan, ia bukan sekadar melihat air hitam pekat. Hidungnya menghirup aroma kopi, yang tanpa sadar membangkitkan hasratnya. Tangannya lalu meraih pegangan, mengangkatnya perlahan. Bibirnya menyentuh pinggir cangkir, perlahan kopi meluap, membanjiri rongga bawah mulut. Lidahnya menyeruput — telinganya bisa mendengar suara seruput itu — lalu mengecap paduan rasa pahit, asam, dan manis. Setelah menikmati rasanya, ia lalu meneguknya, selagi hangat. Pengalaman kaya hanya dalam secangkir kopi. Tetapi, layar kemudian menyaring pengalaman manusia, setidaknya dengan dua cara. Pertama, layar mereduksi penggunaan indra dalam mengalami menjadi sebatas visual dan audio. Kedua, konten yang dihadirkan di dalam layar itu sendiri adalah representasi dari pengalaman sebenarnya. Ketika menyaksikan video konser, kita sedang menyaksikan rekaman kamera video yang merepresentasikan konser tersebut. Representasi, tentu saja, mereduksi pengalaman sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan reduksi tersebut, dan saya juga bukan orang yang paranoid dengan layar. Tetapi, ada yang lalu memudar apabila layar dengan perlahan tapi pasti menggerus lebih banyak porsi di kehidupan kita: kepekaan. Kita akan semakin jarang menggunakan indra kita seutuhnya dalam mengalami apa yang ada di sekitar kita — alam dan orang-orang yang jaraknya justru tak sampai 10 meter. Suatu kali, saya membaca di Facebook sebuah tulisan tentang permainan yang bisa Anda lakukan ketika sedang pergi makan bersama teman. Peraturannya sederhana: setiap peserta harus meletakkan telepon seluler di atas meja, dan siapa yang menyentuh telepon miliknya terlebih dahulu, ia yang harus membayar tagihan makan. Permainan ini barangkali sebuah satir yang bermaksud menyindir ketidakhadiran diri kita di dunia nyata. Permainan ini memaksa kita — kecuali Anda bersedia mentraktir teman-teman Anda — untuk berinteraksi dengan sungguh-sungguh dengan orang-orang yang secara fisik berada di sekitar kita, tanpa teralihkan perhatiannya. Permainan ini berusaha melawan peran layar yang menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Namun, permainan ini juga mungkin hanya lelucon di balik layar yang tidak akan pernah kita lakukan. Dunia kita kini, ada di hadapan kita sekarang. Di depan layar.

Hibernasi dalam Skizofrenia

hidup itu ajaib, dari semua unsur dalam tanah yang menjelma menjadi air susu dari ibu. Air yang melebihi mukjisat air sam-sam adalah ASI, asal mula sebuah kehidupan ada di sana. Dari situ kulit akan bertambah tebal, rambut mulai tumbuh.. bergerak sangat lambat dan kita mulai membuka mata untuk melihat dunia hitam putih menjadi dunia yang penuh warna-warni. Setelah cukup dewasa, terjadi hal yang lebih aneh lagi dari hidup yaitu cinta. Saat melihat rambut ikalmu tertiup angin bulan november di koridor kampus. Kau lelaki yang mampu menghipnotis. Aku jatuh cinta saat itu juga. Dua tahun setelah kejadian itu kamu menjadi kekasih tercinta, begitu indah melihatmu bercanda dan tertawa dengan gigi yang terbuka selebar-lebarnya. Seringkali kita memperdebatkan hal remeh temeh yang tidak disukai oleh anak muda seumuran kita yang lebih memilih mengahabiskan waktu di mall dan tempat meminum kopi. Suatu sore saat hujan baru saja reda, kau biasa menunggu di koridor tempat kita bertemu dengan secangkir teh hangat yang baru saja kau seduh. Semua hal tentang gejala sosial sampai pada kehidupan dibawah air kita cerita dari berbagai sudut pandangnya. Kau adalah kekasihku tercinta. Saat itu sebuah tragedi menimpa kita, dan kita paling pintar menyembunyikan senyum dan air mata saat bersamaan. Semuanya yang kini tidak lagi ada diantara kita. Parade iblis telah merampasmu dari pelukanku dari koridor kita, lenyap bersama tawa hangatmu itu. Skizofrenia telah menguasaimu, menggerogoti tiap denyut dalam jantungmu. Sehingga membenci kehidupan dan mengingkari air ajaib yang telah mengalir berpuluh tahun di darahmu. Kau ingin mengakhirinya melompat melampaui takdir. Tapi hidup itu begitu indah, tak akan saya lewakan begitu saja bersama kesedihan yang akan berkepanjangan. Saya akan terus berlari dan berlari sesekali berhenti menarik nafas dan berlari kembali. Entah mengejar apa dan tak tahu akan kemana, yang jelas beranjak dari tempatku yang mulai sesak dan membosankan ini. Saya selalu bertanya di mana kamu berada.. Kemana kamu pergi, tidakkah dunia ini begitu indah untuk kau lewatkan? Apakah kamu sedang tersesat dan mengurung diri dalam tidur panjangmu? Aku hanya ingin tahu. Aku hanya ingin tahu. apakah kau sedang tersesat? “Jika ratusan tahun kedepan kita akhirnya sampai ke titik yang sama, maka di titik itu akan kutancapkan bendera perang terhadap skizofrenia yang telah mencuri hidupmu”

sandiwara

setiap malam aku mendengar ratapannya, dari sebuah rumah yang tidak sederhana. suara yang keluar dari sebuah kamar ibu tetangga yang kebetulan bersebelahan dengan kamarku. tangis pilunya di sebabkan kematian suaminya beberapa minggu yang lalu. walau sebenarnya suara itu sudah tidak asing sejak menjadi tetanggaku satu tahun lalu. wanita itu adalah ibu dari 5 orang anak yang sudah mulai tumbuh dewasa, tubuhnya gemuk namun masih lincah melakukan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. sebagian besar waktunya di habiskan untuk mengurus keluarga dan membersihkan rumah. masih nampak rona kecantikan terpancar dari wajahnya walau sebagian besar sudah memudar karena usia. kerutan kerutan pun sudah dapat terlihat di lipatan matanya yang nampak sembab.

*

kriiing.. kriiing.. "saya segera meluncur komandan!!" kata suaminya sebelum menutup telpon dengan canggung lalu segera membunyikan mesin dengan motornya. dan suara gedoran pintu serta teriakan membangunkan istrinya di waktu subuh adalah sebuah teater yang sudah sering aku dengar dari kisi-kisi jendelaku. suaminya mulai suka pulang subuh. sesekali suara bertengkar disusul tangis lalu kemudian hening.

**

suaminya meninggal karena penyakit lever dan asma akut. sang suami memang sorang alkoholik, tampak jelas terlihat di perutnya. dan yang namanya alkohol biasanya sepaket dengan perempuannya. seorang wanita cantik bertubuh sintal dari tempat hiburan malam sudah mulai dekat dengan suaminya. saya pernah melihatnya sekali, sewaktu ikut karokean di sebuah rumah bernyanyi bersama teman-teman, disusul cerita dari anaknya yang juga pernah melihatnya di tempat umum.
perempuan yang sama pula yang datang bertamu ke rumah si ibu tetangga dan mengaku sedang hamil anak suaminya. bukan hanya si istri yang merasa shock berat tetapi juga sang suami. peristiwa itulah yang memicu asmanya kambuh dan berakhir di pembaringan abadinya.

***

lalu apa yang membuat si ibu masih juga menangis hingga kini? justru kesedihannya nampak terlihat lebih jelas, lebih menyayat. seharusnya dia bisa merasakan kebebasan dari suaminya yang selama ini menyiksanya bersama teror si perempuan simpanan. ternyata kesedihannya di karenakan dia kehilangan cintanya terkubur bersama suaminya.

****

sebuah drama di subuh hari menemani penyakit insomniaku.

Mahakarya

Kampungku berjarak puluhan jam dari kota, bisa ditempuh dengan menyusuri sebuah jalan yang diaspal seadanya. Pohoh pohon besar berjejer tidak beraturan dipinggir jalan. Jika diperhatikan lebih seksama mungkin ada pohon mangga, durian, langsat, rambutan, jati, dan pohon cengkeh yang selalu saja memikat di mataku dengan bentuknya yang indah. Sejauh mata memandang cuma pegunungan hijau dan petak-petak sawah dengan padi yang mulai berbulir. Beberapa burung berwarna putih terbang riuh rendah mendekati sawah tidak menghiraukan boneka orang-orangan yang sengaja di pasang oleh pak tani.
Sore setelah hujan. Bau uap air dan warna sore menyelusupkan kesejukan dan kehangatan sekaligus. Kunikmati segala romansa alam dengan senja yang turun perlahan, kemilau jingganya beradu dengan awan hitam yang mulai menipis sisa hujan tadi. Pelangi yang melingkar sempurna dengan warna – warni yang sangat indah muncul disela pegunungan. Aku duduk di teras rumah nenekku memandangi semua kemilau ini. Kuhirup dalam-dalam udara yang beraroma tanah dan dedaunan. Menikmati segala mahakarya alam dihadapanku.

*****
Hampir 6 tahun lebih saya meninggalkan kampungku. Berada di pusat peradaban yang disebut kota. Tinggal diantara petak-petak rumah yang saling berhimpitan, suara bising kendaraan, debu, gas sisa pembakaran, Tak adalagi mahakarya alam seperti di kampungku. Hampir semuanya buatan manusia, Bahkan danau dan bukit, daging dan telur sintetis, rumah diatas air dan banyak lagi mahakarya tangan manusia yang belum pernah difikirkan dan dilihat oleh orang dikampungku.
Betapa sulitnya mencari bunyi menghangatkan yang tak virtual. kicau burung, suara jangkrik, bunyi kodok, gemericik air dan deburan ombak hanya dinikmati melalui perangkat elektronik. Inilah imperium.