suku binggi

Adalah dua nama yang berasal dari satu rumpun yang sama suku binggi dan suku bunggu. Suku binggi adalah kelompok tertua dari suku ini dan merupakan cikal bakal suku bunggu, baru dalam beberapa waktu belakangan ini setelah ramainya transmigrasi dan pemekaran daerah muncullah suku bunggu yang saat sekarang menjadi strata sosial yang di imani masyarakat bahwa mereka lebih beradap dari suku pendahulunya.

Suku binggi merupakan suku terasing dari pedalaman mamuju utara, mereka hidup di kaki gunung yang sangat jauh dari keramaian, tinggal berkelompok-kelompok dan melakukan interaksi dengan sesama sukunya. Jumlah mereka cukup banyak. Orang kota menyebutnya sebagai manusia pohon, yaitu orang yang hidup diatas pohon, mereka memilih pohon yang cocok untuk mereka tempati kemudian membangun rumah dipohon tersebut, adapula yang membuat rumah yang sederhana dari batang pohon dan dedaunan sebagai atap yang dibuat di samping pohon yang tinggi. Rumah mereka bisa sampai setinggi 15-20 meter dan tak jauh dari lokasi tempat mereka nanti akan bercocok tanam, Mereka merupakan petani yang berpindah-pindah.

Jika ingin masuk ke tempat mereka di dalam hutan membutuhkan berhari-hari berjalan kaki namun mereka sangat sulit untuk ditemui karena mereka tidak terbiasa bertemu orang lain di luar komunitasnya. Terkadang mereka langsung menghilang dan lari ke hutan bila mengetahui ada orang asing yang datang. Inilah kelebihan mereka mampu menyelinap dan menghilang di balik pohon dengan cepat . Alasan inipula sehingga mereka terbentengi dari kehidupan modern, mereka masih melakukan barter untuk kebutuhan makan. Dalam banyak hal mereka sangat mengandalkan alam untuk dapat bertahan hidup. Pakaian yang mereka kenakan terbuat dari kulit pohon, atau tidak berpakaian sama sekali.

Suku Bunggu merupakan masyarakat suku binggi pedalaman yang telah tersentuh peradaban, mereka mulai berinteraksi dengan orang-orang di luar sukunya dan mulai menerima kehidupan bermasyarakat dan menetap di suatu perkampungan. versi pemerintah dinamakan “suku binggi yang dirumahkan”, sejak tahun 2006 mereka mulai difasilitasi rumah oleh pemerintah dan diajarkan bagaimana menjadi masyarakat yang baik (-mengukuti aturan). Adanya bantuan rumah inilah yang membuat kebutuhan hidup mereka menjadi bertambah karena mereka mesti membeli banyak perkakas sebagai kelengkapan isi rumah, mereka pun telah memakai uang sebagai alat tukar dan pasar adalah tempatnya. Suku Bunggu sudah berinteraksi dengan masyarakat umum, beberapa diantaranya sudah berpendidikan. Mereka tidak lagi mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu, mereka sudah mengenal baju dan kain.

Beberapa dari mereka masih menolak rumah yang dibuatkan dengan alasannya yang cukup sederhana, mereka tidak tahan kepanasan. Rumah bantuan itu terbuat dari papan dengan atap seng. Sedangkan kebiasaan mereka tinggal di rumah yang terbuka dengan atap dari daun-daunan tanpa dinding atau dinding hanya setengah. sebagian dari mereka sudah bersedia dimukimkan.

Dalam beberapa pertemuan mereka dilibatkan khususnya untuk mewakili suku adat/binggi pedalaman ( mematenkan representatif), tak jarang merekapun dilibatkan dalam beberapa program pemerintah maupun proyek swasta yang memberikan imbalan uang. Akibatnya mereka menjadi money oriented ketika ada orang luar yang masuk ke tempatnya. Adanya lokalisasi ini menciptakan suatu relasi baru bagi mereka, dan ini baru terjadi di tahun 90-an. Adanya program/proyek yang mengintervensi kehidupan liar mereka sekaligus membunuh kehidupan tradisional yang selayaknya berjalan secara harmonis.

Namun kadang pula mereka merindukan damainya kehidupan di dalam hutan yang jauh dari masalah sesama manusia yang sarat banyak kepentingan dan permainan politik sehingga dalam beberapa bulan mereka meluangkan waktu untuk masuk kedalam hutan biasanya seminggu untuk bernostalgia dengan kehidupan liarnya.

Suku binggi memiliki ritual khusus biasanya disebut pesta adat. Pesta adat ini menjadi ajang pertemuan seluruh Suku Binggi, baik yang telah hidup berbaur maupun yang masih hidup di hutan. Mereka memiliki ilmu kekebalan diri, mampu berjalan di atas bara api dan tidak mempan dengan benda tajam.
(Psstt.. pesta adat ini pun telah mulai dikomersilkan)

0 komentar:

Posting Komentar