Mahakarya

Kampungku berjarak puluhan jam dari kota, bisa ditempuh dengan menyusuri sebuah jalan yang diaspal seadanya. Pohoh pohon besar berjejer tidak beraturan dipinggir jalan. Jika diperhatikan lebih seksama mungkin ada pohon mangga, durian, langsat, rambutan, jati, dan pohon cengkeh yang selalu saja memikat di mataku dengan bentuknya yang indah. Sejauh mata memandang cuma pegunungan hijau dan petak-petak sawah dengan padi yang mulai berbulir. Beberapa burung berwarna putih terbang riuh rendah mendekati sawah tidak menghiraukan boneka orang-orangan yang sengaja di pasang oleh pak tani.
Sore setelah hujan. Bau uap air dan warna sore menyelusupkan kesejukan dan kehangatan sekaligus. Kunikmati segala romansa alam dengan senja yang turun perlahan, kemilau jingganya beradu dengan awan hitam yang mulai menipis sisa hujan tadi. Pelangi yang melingkar sempurna dengan warna – warni yang sangat indah muncul disela pegunungan. Aku duduk di teras rumah nenekku memandangi semua kemilau ini. Kuhirup dalam-dalam udara yang beraroma tanah dan dedaunan. Menikmati segala mahakarya alam dihadapanku.

*****
Hampir 6 tahun lebih saya meninggalkan kampungku. Berada di pusat peradaban yang disebut kota. Tinggal diantara petak-petak rumah yang saling berhimpitan, suara bising kendaraan, debu, gas sisa pembakaran, Tak adalagi mahakarya alam seperti di kampungku. Hampir semuanya buatan manusia, Bahkan danau dan bukit, daging dan telur sintetis, rumah diatas air dan banyak lagi mahakarya tangan manusia yang belum pernah difikirkan dan dilihat oleh orang dikampungku.
Betapa sulitnya mencari bunyi menghangatkan yang tak virtual. kicau burung, suara jangkrik, bunyi kodok, gemericik air dan deburan ombak hanya dinikmati melalui perangkat elektronik. Inilah imperium.

0 komentar:

Posting Komentar